GENDER

FISIP UNRIKA BATAM  > Opini >  GENDER

GENDER

Oleh : Nurhayati,S.IP, MA

Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan UNRIKA Batam

Nuhayati, S.Ip.,MA - Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIPOL Unrika BatamPersoalan Gender berarti menelusuri arti Gender itu sendiri. Berbicara mengenai perempuan selalu menjadi topik  yang menarik di bicarakan oleh  berbagai kalangan. Banyak hal yang menjadi alasan mengapa topik tentang perempuan selalu menarik untuk diperbincangkan. Dalam beberapa tahun terakhir ini kajian tentang masalah perempuan di Indonesia menunjukan perkembangan yang pesat. Intensitas diskusi, seminar, dan penelitian merefleksikan meningkatnya kesadaran berbagai kalangan akan pentingnya kedudukan dan peran perempuan dalam proses transformasi masyarakat. Kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam proses transformasi masyarakat juga tidak lepas dari teori sosial yaitu Teori Gender.

Seiring dengan semakin besarnya akses kaum perempuan dalam berbagai bidang, kesadaran perempuan akan persamaan hak dan kedudukan dengan kaum laki-laki semakin terbuka, meskipun demikian tujuan akhir dari cita-cita kaum perempuan untuk memperoleh persamaan tersebut masih memerlukan waktu yang panjang karena selama berabad-abad yang lalu masyarakat tumbuh dalam kebudayaan yang di dasarkan pada kekuasan kaum laki-laki. Capra mengatakan bahwa selama 300 tahun terakhir, peradaban Barat dan kebudayaan-kebudayaan pendahulunya, begitu pula kebudayaan yang lainnya telah di dasarkan atas sistem filsafat, sosial politik dimana pria dengan kekuatan, tekanan langsung melalui ritual, tradisi, hukum, bahasa, adat kebiasaan, etika, pendidikan dan pembagian kerja menentukan peran apa yang boleh dan tidak boleh di mainkan oleh wanita dan dimana wanita di anggap lebih baik dari pria. (Fritjof Capra:1999)

Budaya patriarchal tersebut telah membentuk suatu sistem yang sulit untuk dipahami karena sifatnya yang menembus ke segala arah. Sistem-sistem inilah yang mempengaruhi pemikiran-pemikiran mendasar tentang hakekat manusia bahkan doktrin-doktrinnya diterima sedemikian universal sehingga tampak sebagai hukum alam. Kepercayaan bahwa laki-laki lebih kuasa menentukan segala sesuatu dalam kehidupan sosial telah menonjolkan perempuan pada posisi yang tergantung kepada laki-laki. Dengan keadaan seperti itu, perempuan sering di identikan sebagai mahluk yang lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sedangkan laki-laki sebagai mahluk yang kuat, rasional, jantan dan perkasa. Akibat dari adanya pembedaan tersebut timbul suatu anggapan bahwa perempuan lebih tepat bekerja di sektor domestik yaitu mengurusi segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga, sedangkan laki-laki tepat bekerja pada sektor publik. Pembagian peranan berdasar jenis kelamin tersebut terus berlanjut karena sejak dini pada diri anak-anak telah ditanamkan ajaran-ajaran seperti ibu pandai memasak, ayah bekerja di sawah. Ajaran-ajaran tersebut telah mengendap/mengakar pada pemikiran anak-anak lewat sosialisasi yang termuat dalam buku bacaan anak-anak Sekolah Dasar (Cahya Yuana:2000). Pengalaman anak-anak di rumah juga mendukung dan memperkuat pengetahuan mereka. Anak-anak mulai bisa membedakan antara tugas laki-laki dan tugas perempuan. Sosialisasi seperti itu merupakan hasil penupukan masyarakat melalui sistem pendidikan.

Hal inilah, konsep Gender dan apa kaitan konsep tersebut dengan emansipasi wanita yang diperjuangkan kaum perempuan tidak hanya di indonesia yang di ploporio Ibu Kartini tetapi juga di pelbagai penjuru dunia lainnya. Konsep Gender pertama kali harus dibedakan dari konsep seks atau jenis kelamin secara biologis. Seks secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan, sebagai seorang laki-laki maupun perempuan.

Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memperoduksi seperma. Sementara seorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semnua tempat, disemua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.

Dikotomi publik dan domestik yang digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin telah menciptakan jarak bagi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosialnya. Satu memiliki status yang lebih tinggi dari pada yang lain. Adanya keberpihakan pada laki-laki membuat perempuan terpenjara dalam sektor domestik yang mengisolisirnya dari kehidupan publik.

Kebudayaan yang didasarkan pada laki-laki ini semakin disuburkan oleh adanya sistem patriarchal dalam masyarakat yang didukung oleh ideologi familialisme. Ideologi familialisme yang menekankan peranan perempuan sebagai istri dan ibu, merasuk dan mempengaruhi cara pandang maupun persepsi perempuan dan laki-laki terhadap pengalaman kesehariannya (Siti Kusujiarti:1997).Secara ideal masih terdapat anggapan bahwa peran utama perempuan ada di sekitar rumah tangga dan tugas-tugas domestik. Aktivitas perempuan dalam sektor lain seperti sektor produksi di anggap sebagai tugas sekunder. Ketimpangan gender yang berakibat pada domestikasi kaum perempuan nampak jelas sehingga kesetaraan gender jarang muncul dalam relasi sosial di dalam masyarakat. Nilai-nilai dominasi laki-laki di langgengkan dalam institusi-institusi sosial seperti politik, pendidikan, ekonomi dan kepercayaan.

Pembagian peranan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan ini memiliki pengaruh sangat besar terhadap keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Dalam menentukan tatanan kehidupan bermasyarakat kaum pria masih mendominasi. Perempuan dipojokkan oleh anggapan bahwa ia tidak mampu untuk mengambil keputusan tentang hal-hal semacam tersebut diatas. Namun pada kenyataannya, adakalanya wanita diikutsertakan atau bahkan justru yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan. Hal ini bisa dilihat dari sebuah kasus di Minahasa sekitar tahun 1930 dimana perempuan akhirnya diminta turun tangan menyelesaikan permasalahan tanah karena laki-laki tidak mampu menyelesaikannya. Disini perempuan diakui dan terbukti bahwa mereka mempunyai kemampuan dan kekuatan apabila diberi kesempatan.

Oleh sebab itu Gender merupakan suatu istilah yang dikontruksikan secara sosial dan kultural utuk jangka waktu yang cukup lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender itu pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan Gender dimaknai secara berbeda dari satu tempat ketempat yang lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Sehingga upaya untuk mendefinisikan konsep Gender tetap dilakukan dan salah satu definisi gender telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan sebagai ”a constitutive element of soscial relationships based on perceived differences between the sexes, and a primary way of signifying relationships of power.” (1986:1067)

Disinilah kesalahan pemahaman akan gender seringkali muncul, dimana orang sering memahami konsep Gender yang merupakan rekayasa sosial budaya sebagai ”Kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa dirubah dan ditawar lagi. Padahal Kodrat itu sendiri berarti ”Sifat Asli Atau Sifat Bawaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dengan demikian Gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi bukanlah Kodrat.